Sayangilah Anak-Anak
Anak adalah anugerah yang diberikan Allah Ta’ala kepada orang tua. Kehadirannya selalu didambakan oleh dua insan yang mulai menjalani bahtera rumah tangga. Kehadirannya menjadi penyempurna kebahagiaan yang mulai tercipta. Tangisnya menjadikan gelisah hati ayah dan ibu yang mendengarkannya. Tawanya menjadi pelipur hati kedua orang tuanya yang tengah berduka. Bahkan adanya dirinya menjadi penyejuk pandangan dan menimbulkan kegemasan bagi siapa saja yang memandangnya.
Anak yang belum baligh adalah insan yang masih bersih dari dosa. Setiap tingkah laku yang dikerjakan anak sebenarnya adalah hasil dari “meniru” orang-orang dewasa yang ada di sekitarnya. Bisa jadi meniru orang tua, tetangga, atau mungkin kawan bermain dalam kesehariannya. Oleh karenanya, diangkatlah pena catatan amal atas diri-diri mereka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pena diangkat dari tiga orang (malaikat tidak mencatat apa-apa dari tiga orang), yaitu: orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia dewasa, dan orang gila hingga ia berakal normal atau sembuh.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Berangkat dari diri anak yang masih suci pada asalnya, bagaimanakah seharusnya kita memperlakukan mereka? Bagaimana kita harus mendidik mereka agar menjadi generasi shalih yang memberikan kemaslahatan dunia dan agama? Untuk itulah wahai Saudariku, kutuliskan risalah ini. Mari kita bercermin kepada sebaik-baik teladan dalam hal kasih sayang kepada anak-anak. Lihatlah bagaimana Rasulullah shalallahu ’alahi wa sallam memperlakukan mereka. Bahkan beliau menegaskan dalam sabdanya, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil, menghormati orang yang tua, dan mengetahui kemuliaan orang-orang tua di antara kami. (Shahih Al-Jami’, no. 5444)
Ciuman Tanda Kasih Sayang
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membawa putra beliau bernama Ibrahim, kemudian mengecup dan menciumnya.” (HR. Al-Bukhari)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, “Pada suatu hari beberapa orang Arab badui datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, ‘Apakah kamu mencium anak-anak kecilmu?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Lalu mereka berkata lagi, ‘Akan tetapi, demi Allah, kami belum pernah memeluknya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, ‘Aku tidak dapat berbuat apa-apa jika Allah telah mencabut rasa kasih sayang dari hati kamu sekalian.’”(HR. Muslim)
Mencium anak kecil adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika hal itu dikerjakan dengan ikhlas maka akan membuahkan pahala karena meneladani sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikanlah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur tindakan orang-orang Arab Badui yang belum pernah mencium anak-anak mereka. Bahkan beliau berlepas diri dari mereka karena tindakan mereka menandakan dicabutnya kasih sayang kepada anak dari hati-hati mereka.
Ciuman yang tulus dari orang tua kepada anak akan membuahkan rasa aman dan merasa disayangi. Dengan demikian ikatan hati antara orang tua dan anak pun akan semakin kuat. Anak juga akan memberikan timbal balik rasa sayang sebagaimana rasa sayang orang tuanya kepada dirinya.
Menangis saat Kehilangannya
Tangisan jika diletakkan pada tempatnya bisa menjadi pertanda lembutnya hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menangis ketika putranya yang bernama Ibrahim meninggal, kemudian Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada beliau, “Apakah Anda juga menangis wahai Rasulullah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Wahai Ibnu ‘Auf, ini adalah ungkapan kasih sayang yang diiringi dengan tetesan air mata. Sesungguhnya air mata ini menetes, hati ini bersedih, namun kami tidak mengucapkan kecuali yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sungguh, kami sangat berduka cita berpisah denganmu, wahai Ibrahim.”(HR. Al-Bukhari)
Namun yang perlu diingat di sini, tangisan yang terjadi pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah disertai dengan hujatan, rontaan, maupun ratapan karena musibah yang menimpanya. Karena tangisan semacam itu merupakan tangisan yang dilarang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Bukan termasuk golongan kami, orang yang menampar pipi (ketika tertimpa musibah), merobek-robek baju, atau berdoa dengan doa jahiliyah (meratapi kematian mayit seraya mengharap-harap celaka).” (HR. Muslim) Tangisan beliau adalah tangisan dari naluri yang wajar saat merasa kehilangan orang yang dicintainya.
Mengucapkan Salam dan Mendoakan Mereka
Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu pernah berjalan bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, kemudian ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati anak-anak kecil beliau mengucapkan salam kepada mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, “Suatu kali pernah dibawa sekumpulan anak kecil ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mendoakan mereka. Pernah juga seorang anak dibawa kepada beliau, lantas anak itu kencing pada pakaian beliau. Beliau segera meminta air lalu memercikkannya pada pakaian itu tanpa mencucinya.”(HR. Al-Bukhari)
Salam yang beliau ucapkan kepada anak-anak menjadi bagian dari sarana mendidik dan melatih anak untuk mengerjakan adab-adab Islami. Selain itu, ucapan salam adalah bentuk meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menunjukkan sikap tawadhu’ (rendah hati) orang dewasa di hadapan anak-anak kecil.
Tidak Cepat Marah dan Tidak Mempermalukannya di Hadapan Anak-Anak Lain
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Suatu hari beliau menyuruhku untuk suatu keperluan. Aku berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan pergi.’ Namun dalam hatiku, aku akan pergi karena yang menyuruhku adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku keluar dan mendapatkan anak-anak sedang bermain di pasar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan memegang tengkukku dari belakang. Aku memandangnya kemudian beliau tersenyum dan bersabda, ‘Wahai Unais (panggilan kesayangan), apakah kamu sudah pergi ke tempat yang aku suruh?’ Aku menjawab, ‘Ya, aku akan pergi, wahai Rasulullah.’” (HR. Muslim)
Wahai Saudariku, tahukah engkau siapakah Anas? Anas adalah seorang pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih kecil. Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memaklumi naluri seorang anak kecil yang ingin bermain bersama teman-temannya. Namun begitu, beliau tidak lantas memarahinya di hadapan teman-temannya yang lain karena Anas tidak segera melaksanakan perintah beliau. Bahkan beliau tersenyum, memegang tengkuknya dengan lembut, serta berbicara kepadanya dengan lembut pula hingga akhirnya Anas pun segera melaksanakan perintah beliau.
Memanggilnya dengan Panggilan yang Baik
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering bercanda dengan Zainab, putri Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Beliau memanggilnya dengan ‘Ya Zuwainab, Ya Zuwainab’ berulang kali.” (Zuwainab artinya: Zainab kecil).(Silsilah As-Shahihah no. 2141 dan Shahih Al-Jami’ no. 525)
Terkadang Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memanggil anak dengan sebutan “Yaa Ghulam (wahai anak)” atau “Ya Bunayya (wahai anakku)” saat hendak menasehatinya. Terkadang pula beliau memanggil anak dengan nama kun-yah-nya (nama kun-yah adalah nama yang biasanya diawali dengan “abu” atau “ummu”sebagai bentuk panggilan pemuliaan -ed). Sebagimana dalam hadits saat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepada anak kecil yang kehilangan burung kesayangannya karena mati, beliau memanggil anak tersebut dengan nama kun-yah-nya yaitu Abu Umair. Terkadang beliau pun memanggil anak kecil dengan sebutan “anak saudaraku”.
Yang perlu diperhatikan, seringkali kita dapati orang tua yang memanggil anaknya dengan panggilan yang buruk. Entah panggilan buruk tersebut keluar karena anak melakukan kesalahan atau karena orang tua sedang marah kepada anaknya. Mereka kadang menggelari anaknya sendiri dengan panggilan ”si bodoh, si tolol, anak bandel, anak nakal” dan yang semisalnya. Padahal Allah Ta’ala melarang keras hal tersebut sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman. dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat: 49)
Menggendongnya Meski dalam Keadaan Beribadah kepada Allah Ta’ala
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut keterangan Abul Ash bin Rabi’, apabila Rasulullah berdiri maka Umamah digendongnya dan jika sujud Umamah diletakkannya. (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bolehnya shalat sambil menggendong anak kecil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan bagaimana cara menggendong dan meletakkannya agar anak tetap dalam keadaan tenang dan nyaman.
Mengajarkan Tauhid
Abdullah bin Abbas berkata, “Suatu hari saya membonceng Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, lalu beliau berkata, “Nak, aku akan mengajarimu beberapa kalimat, (yaitu) jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, engkau akan mendapati-Nya ada di hadapanmu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah, dan jika kamu meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah…” (HR. Tirmidzi, hadits hasan shahih)
Tauhid adalah ilmu yang wajib dipahami dan diamalkan oleh seorang muslim. Bahkan ia menjadi syarat utama yang harus ada dalam diri seorang muslim hingga akhir hayatnya. Tauhid yang benar akan mengantarkan seorang hamba menuju surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan bahwasanya ‘Isa adalah hamba, utusan, dan kalimat-Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan (dia juga bersaksi) bahwa surga itu benar adanya dan neraka itu benar adanya, maka Allah akan memasukkan dirinya ke dalam surga berapa pun amal yang telah diperbuatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan hafidzahullah menjelaskan maksud dari dimasukkan ke surga berapapun amal yang telah diperbuatnya, ada dua makna:
- Allah memasukkannya ke dalam surga, meski dia seorang yang lalai dan memiliki dosa (selain syirik), karena sesungguhnya seorang yang bertauhid harus dimasukkan ke dalam surga.
- Allah memasukkannya ke dalam surga dan kedudukannya tergantung amal yang telah diperbuatnya. (Mulakhash Syarh Kitab At-Tauhid)
Oleh karena itu agar tauhid selalu terpatri di dalam hati, lisan, dan perbuatan anak, hendaknya kita mengajarkannya kepada anak sejak dini.
Memperpendek Lamanya Shalat Ketika Mendengar Tangisan Anak Kecil
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sedang mengerjakan shalat dan hendak memperpanjangnya, namun aku mendengar tangisan anak kecil. Lalu aku ringkas (ringankan) shalatku, karena aku tidak senang untuk menyusahkan ibunya.” (HR. Bukhari)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak pernah shalat di belakang seorang imam yang shalatnya lebih ringan dan lebih sempurna daripada Nabi. Beliau memperpendek shalat apabila beliau mendengar tangisan seorang bayi, karena takut ibu anak itu merasa menderita.” (HR. Bukhari)
Memerintahkan Anak untuk Shalat ketika Telah Mendekati Usia Baligh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Perintahkanlah anak-anakmu untuk mengerjakan shalat di waktu usia mereka menginjak tujuh tahun dan pukullah (kalau enggan (tidak mau) melakukan shalat) di waktu mereka menginjak usia sepuluh tahun.” (HR. Abu Dawud)
Saudariku yang semoga dirahmati Allah Ta’ala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menyuruh orang tua untuk memerintahkan shalat kepada anaknya kecuali di usia anak yang mendekati baligh. Hal itu karena di usia tersebut anak sudah mulai mampu berpikir mengenai mana hal yang baik dan mana yang buruk. Seandainya anak diperintahkan di usia yang lebih dini dari itu, tentu anak akan merasa berat atau bahkan mengganggu orang dewasa yang shalat bersamanya.
Komentar
Posting Komentar